“Berbahagialah orang yang berduka cita karena mereka akan dihibur..”
~ Mat 5:4 ~
“Hancur mina!!!” Orang berduka cita kok berbahagia? Kalau begitu, bilang saja, “Selamat berduka cita” kepada orang yang sedang mengalami kemalangan atau kematian.
Bukan Begitu, kawan.. Muatan kata dukacita berkiatan dengan perasaan sedih yang sedemikian mencekam, seperti orang yang sedang mengalami kematian kekasihnya atau orang yang menjadi tumpuan hidupnya. Rasa kesedihan menghancurkan hati seperti itu dialami juga oleh orang yang menyadari dan menyesali dosa-dosanya!
Memang kata Yunani penthountes bisa diterapkan pada mereka yang berduka cita karena kematian orang yang dikasihi atau menyesal karena dosa-dosanya. Karena itu dukacita yang dimaksud mempunya makna sosio-religius yang mendalam. Bukan saja duka cita karena kehilangan seseorang yang dikasihi, tetapi karena kehilangan Allah dalam dirinya terhalang oleh dosa-dosanya. Berbahagialah orang yang hancur hatinya karena menyadari dosa-dosanya, lalu menyesal dan berbalik kembali kepada Allah.
Berbahagialah orang yang mengalami kepedihan karena manyesali dosa-dosanya dan terus mengharapkan uluran tangan Allah. Sebab orang itu akan menemukan belas kasih dan penghiburan sejati dari Allah. Justru dalam penderitaannyam banyak orang menemukan dan menyedari pendampingan dari Allah. Dengan demikian, penghiburan yang dimaksud adalah penyelamatan dari Allah.
Penginjil Lukas membandingkan bahagia orang yang berdukacita itu celakanya orang yang tertawa,
“Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, kerena kamu akan tertawa. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, kerena kamu akan berdukacita dan menangis.”
~ Luk 6:21,25 ~
Berbeda dengan Penginjil Matius yang memakai pasangan kata dukacita-dihibur, Penginjil Lukas memilih kata menangis karena penindasan dan perlakuan buruk, namun mujurlah orang itu karena akan tertawa. (bdk. Mazmur 126:5).
Namun demikian, penginjil bukan mau mengajarkan agar orang lebih menyukai kesedihan karena nanti akan memperoleh sukacita, tetapi mau menyadarkan bahwa kenyataan hidup ini bermuka dua. Hidup ini bukan sekedar gelap melulu atau terang selalu.
Sebagai aplikasi nyata, kalau sekarang sedang tidak ada rejeki dan mengalami derita, orang tidak perlu sedih dan putus asa, sebab ada saatnya tertawa, yakni saat Kerajaan Allah secara utuh mengubah hidupnya. Orang yang sekarang tertawa atau menertawakan kesusahan orang lain pun tidak selamanya tertawa, sebab akan tiba saatnya akhir yang menyedihkan dan penuh dukacita.
Sumber: Buku Kata-kata susah bertuah – Surip Stanislaus OFM Cap – Lembaga Biblika Indonesia