Ketika kesalehan devosional individualistis kian marak dalam praktik menggereja di Indonesia, Ensiklik pertama Paus Fransiskus, Lumen Fidei, mengundang kita menimbang kembali arti iman kristiani. Lumen Fidei menantang secara radikal kecenderungan memandang iman sebagai urusan kepuasan batin tanpa hubungan dengan hidup bersama. Ensiklik ini juga merumuskan secara baru hubungan kasih, pengetahuan, dan kebenaran. Tentu ini dua tema kecil saja dari kekayaan pesan ensiklik ini.
Teks Lumen Fidei mulai dengan dilema iman masa kini. Nalar sering dipandang sebagai pengganggu kekhusyukan iman, sedangkan iman dianggap menghalangi keketatan berpikir. Orang yang mau menyelamatkan iman memperlakukannya sebagai pengisi celah kosong yang belum terjawab ilmu, atau semata-mata emosi [3].
Pertanyaannya, bagaimanakah iman kristiani dapat senapas dengan nalar, yang mengejar kejernihan dan kebenaran, untuk melayani kebaikan umum?
Di sinilah Lumen Fidei menawarkan hal yang tak lazim dalam teori pengetahuan, yakni kasih sebagai sumber pengetahuan. Biasanya cinta ditaruh dalam kotak perasaan, sedangkan pengetahuan adalah urusan otak. Kata orang, cinta itu buta. Tapi Lumen Fidei mengatakan, kasih mencerahkan sehingga kita melihat kenyataan dengan cara baru. Kita bingung: Kok bisa dia jatuh cinta pada orang itu? Lumen Fidei menjelaskan, “Kasih itu sejenis pengetahuan yang punya logikanya sendiri” [27].
Kasih melibatkan kepercayaan, mengikat kita ke kebenaran. Bagaimana hubungan bisa langgeng kalau orang yang dikasihi suka bohong? Kebenaran juga perlu kasih. Dengan kasih, kita saling melihat melalui sudut pandang orang lain. Si X yang cenderung memandang sisi sedih pengalaman menemukan sisi gembira lewat cara pandang sahabatnya. Terbentuklah pengetahuan di atas kebenaran bersama.
Dalam iman kristiani, kasih paling asali, agung, dan handal adalah Yesus yang memberi nyawa-Nya sendiri bagi semua orang, bahkan bagi musuh-musuh- Nya untuk mengubah hati mereka [16]. Sayangnya, dunia kini kehilangan jejak dengan jalan Tuhan yang menjelma. Yesus memberi contoh melalui perbuatan. Kebenaran bukanlah apa yang membuat hidup jadi lebih mudah dan nyaman [25], tapi merangkul sejarah ciptaan bersama kesengsaraan dan harapannya [29].
Alangkah jauhnya ajaran itu dari heboh menyunting diri di facebook supaya disukai orang. Alangkah jauhnya dari praktik hidup rohani yang menyempit jadi devosi kesalehan belaka, seakan-akan terlibat memperbaiki kondisi masyarakat tidak terkait iman. Iman tidak menjauhi dunia dan bukan tempat sembunyi orang-orang penakut [53].
Melalui penjelmaan, iman kristiani bukanlah sikap menunggu kerja tangantangan gaib yang tidak kita ketahui di atas sana, melainkan kesetiaan mengikuti gerak-gerik Yesus yang berjerih payah dalam suka-duka dan untung-malang memperjuangkan kabar gembira.
Karena dunia ini situs rahmat, sedangkan iman adalah jalan kesetiaan mengikuti Dia dan perbuatan-Nya [47], pelbagai ilmu tentulah membantu kita memahami dan melibati dunia sebagai konteks yang selalu punya status keramat dalam laku iman kristiani. Sebab, Tuhan yang kita imani adalah Tuhan yang menjelma.
- Bagaimana mau mengikuti Yesus menyembuhkan orang sakit kalau tidak ada ilmu kedokteran?
- Bagaimana mau ikut jejak Yesus membela perempuan yang akan dirajam kalau tidak tahu ilmu hukum?
- Bagaimana mau ikut Yesus berjalan di atas air kalau tidak paham fisika?
Iman sebagai “laku mendengar dan melihat” [29] memperlihatkan ‘aku percaya’ tidak bisa-tidak melibatkan ‘aku berpikir’.
Iman “memperluas cakrawala nalar dan menebar cahaya lebih luas kepada dunia yang membuka dirinya bagi penyelidikan ilmiah” [34]. Ilmu tentu punya batasnya berhadapan dengan misteri inkarnasi. Tapi, sikap mudah bersembunyi dalam pernyataan saleh dan terdengar suci bisa menjadi tanda malas berpikir, bukan laku iman sejati.
Dengan indah Lumen Fidei mengajarkan, iman adalah juga sikap menghadapi realitas. Terang iman memandu kita ikut menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan manusia mencapai kepenuhannya. Iman adalah “kebaikan bersama… tidak hanya membangun hunian di keabadian” [51].
Lumen Fidei adalah ensiklik seorang Paus yang sejak awal mengajak seluruh Gereja keluar dari diri. Siapkah kita keluar dari kenyamanan diri dan berjaga sebagai “musafir untuk menemukan Tuhan Sang Tuan Kejutan” [35]?